Review Film Never Rarely Sometimes Always (2020) – Kekuatan Minim Dialog

Senyap dan intens adalah kata yang tepat untuk film Never Rarely Sometimes Always. Di film garapan sutradara Eliza Hittman ini hampir tidak ada adegan spektakuler atau megah. Fokusnya sangat jelas, yakni tentang kebimbangan dan kekhawatiran seorang remaja perempuan.
Film ini bercerita tentang Autumn (Sidney Flanigan). Wanita muda pendiam dan tak punya banyak teman. Kesehariannya membosankan. Dari rumah, pergi ke sekolah, di waktu luang ia gunakan untuk bekerja paruh waktu bersama sepupunya, Skylar (Talia Ryder).
Autumn terlihat khawatir tentang sesuatu. Setelah melakukan beberapa hal, ternyata diketahui bahwa ia positif hamil. Sudah 10 minggu. Setelah berbicara ke sana-sini dan terbentur ini-itu, Autumn berada dalam kebingungan besar. Apakah ia harus aborsi atau tetap membesarkan sang janin?
Sudut Pandang Aborsi
Meski praktek aborsi telah ada sejak lama, tentu menggugurkan kandungan bukan perkara sepele. Apalagi biasanya terdapat aturan khusus soal aborsi. Baik itu untuk si ibu atau dokter yang bersangkutan. Selain itu, jangan lupakan tentang perdebatan moralitas dan prinsip. Membuat isu aborsi menjadi perdebatan rumit.
Di Never Rarely Sometimes Always, isu aborsi dibahas melalui Autumn. Dalam kata lain, melihat dari sudut pandang wanita berusia 17 tahun yang ingin menggugurkan kandungannya.
Kita diajak untuk menerka-nerka di sepanjang film. Mengapa Autumn ingin melakukan aborsi?
Dari yang saya tangkap, Autumn merasa takut. Utamanya terkait citra dan tanggapan keluarga di masa depan. Karena terlihat di beberapa adegan, ia terlihat tidak nyaman berada di dekat keluarganya. Apa pun itu penyebabnya.
Selain itu Autumn juga (mungkin) merasa takut atau belum siap jika menjadi seorang ibu. Wajar memang, karena usianya bahkan belum mencapai 20 tahun. Apalagi di awal film, ia menunjukkan minatnya terhadap seni. Bisa jadi Autumn memikirkan cita-cita dan kariernya. Mungkin ia tak ingin membuang masa-masa mudanya.
Oh ya, di film ini memang tak diceritakan siapa ayah dari anak yang dikandung Autumn. Ini juga membuat kita menebak-nebak. Apakah memang gara-gara lelaki di sekolahannya? Atau mungkinkah Autumn korban pemerkosaan hingga hamil? Ya, kita hanya bisa mengira-ngira saja.
Menariknya, Autumn juga berhadapan dengan opini terkait “anti-aborsi”. Tentunya saya sebagai penonton jadi ikut bimbang. Di satu sisi mencoba memahami mengapa Autumn ingin menggugurkan. Sedangkan di sisi lain, saya juga paham mengapa ada yang menolak praktek aborsi.
Secara perlahan, kita diajak menyelami konflik batin Autumn.
Oh ya, film ini juga sedikit mengkritik terhadap perlakuan atau penanganan klinik-klinik terkait aborsi di sana. Mulai dari akurasi hasil diagnosa, tingginya biaya, hingga proses wawancara dengan kuesioner yang berisi pertanyaan sensitif.
Persahabatan dan Ancaman
Selain aborsi, Never Rarely Always Sometimes juga kental soal persahabatan. Dalam perjalanannya, Autumn ditemani Skylar (Talia Ryder), sepupu sekaligus teman satu sekolah.

Uniknya, hubungan mereka berbeda dari tipikal persahabatan wanita yang sering kita lihat di film. Tanpa banyak tingkah, tapi saling menjaga satu sama lain. Tanpa banyak diminta, Skylar selalu siap membantu Autumn. Bahkan ia rela berkorban. Seperti contohnya ketika bertemu dengan Jasper (Theodore Pellerin).
Pertemuan dengan Jasper juga punya maksud lain. Seperti ada penggambaran kasar tentang bagaimana kehidupan di luar sana. Tentang betapa besar risiko menjadi remaja wanita.
Ya, mereka tidak aman. Ancaman bisa datang dari mana saja. Apalagi kondisinya tidak menguntungkan. Jangankan untuk mencari tempat bermalam yang aman, untuk makan saja sulit.
Kekuatan tanpa Dialog
Secara keseluruhan, film ini sangat menonjol dari sisi teknis. Angkat topi deh untuk Eliza Hittman!
Yang paling terasa, Never Rarely Sometimes Always itu minim dialog. Hampir tidak ada percakapan panjang. Senyap rasanya.
Berkat itu, film ini bercerita melalui hal-hal lain. Utamanya lewat akting. Sering kali kita langsung bisa memahami bagaimana isi hati Autumn tanpa ia harus berkata-kata. Baik itu melalui gestur, gerakan mata, hingga mimik muka.
Belum lagi dukungan sinematografinya. Seperti berbagai close-up shot hingga komposisi warna yang membangun nuansa sendu. Namun bukan ke arah frustasi atau putus asa, melainkan suasana gelap yang sedang berjalan pelan ke arah cahaya.
Powerful storytelling with minimum dialogues.
Sutradara: Eliza Hittman Penulis: Eliza Hittman Pemeran: Sidney Flanigan, Talia Ryder, Théodore Pellerin, Ryan Eggold, dll. Genre: Drama Durasi: 101 Menit