Love For Sale (2018), “All You Need, Is A Little Push”
Sutradara: Andibachtiar Yusuf Penulis: Andibachtiar Yusuf, M Irfan Ramly Pemeran: Gading Marten, Della Dartyan, Verdi Solaiman, Albert Halim, Rizky Mocil, Toro Margen, Dayu Wijanto Genre: Drama, Comedy Durasi: 104 Menit
“Bila hari telah senja, Malam hari pun tiba
Hidupku yang sendiri sunyi”
dibuka dengan potongan lagu berjudul “Hidupku Sunyi” yang dibawakan beberapa versi oleh The Mercys, Tantowi Yahya, dan Boomerang, film Love For Sale memulai durasi cukup panjang namun memikat. Apa rasanya bila kita jatuh cinta, merasa segalanya telah sempurna bersama, segala hambatan atau perbedaan dapat teratasi berdua, namun pada akhirnya kebersamaan kita harus dirusak paksa oleh satu beda? Patah hati jelas. Sedih? Tak perlu ditanya. Kecewa juga pastinya. Tapi hal paling berbahaya adalah trauma. Trauma untuk jatuh cinta. Malas untuk membuka kembali rasa. Berserah diri pada keadaan dimana diri berjuang untuk membunuh atau dibunuh oleh hampa.

Terjebak dalam loop cycle antara kerja-rumah-kerja dan dengan tempat kerja di bawah tangga membuat Richard akrab dengan judul lagu Ari Lasso (bukan dengan Ari Lassonya). Namun kemudian pernikahan salah satu teman nongkrongnya membawa Richard pada petualangan lama dengan rasa baru di hidupnya, petualangan yang membuat jalannya dan Arini bersinggungan. Demi menyelamatkan harga diri, Richard menggunakan bantuan aplikasi dating untuk memberikannya solusi cepat untuk mendapat teman kondangan. Siapa yang menyangka, bahwa hal tersebut adalah awal dari perubahan besar yang selama ini ia hindari.
Love For Sale tidak menghadirkan kisah cinta picisan yang menjadi santapan harian yang terbiasa kita nikmati saat ini. Jauh dari itu, Love For Sale mengajak kita pada sebuah perjalanan dalam, tentang bagaimana jiwa seseorang yang telah menyerah, seolah menemukan oase dan berusaha bangkit dari keterpurukannya. Richard yang awalnya sama sekali malas untuk bersinggungan dengan wanita karena telah mengalami patah hati paling hebat untuk cinta pertama dan satu-satunya di masa sekolah, menemukan gairahnya kembali dalam menjalani hidup, dan menyadari bahwa hidup lebih dari sekadar loop cycle yang selama ini dia jalani.

Perubahan karakter dan emosi seorang Richard begitu apik dibawakan oleh Gading. Love For Sale yang merupakan film pertamanya sebagai pemeran utama, bagi saya akhirnya berhasil membuat Gading membusungkan dada dan membuktikan bahwa Ia lebih dari sekadar putra aktor senior Roy Marten, dan ayah dari si lucu Gempita. Karir entertainmentnya yang kebanyakan berkutat di sinetron atau MC, serta di film-film yang menonjolkan karakter konyol membuat Gading seakan dipandang sebelah mata karena dianggap karakter tersebut merupakan karakternya sehari-hari. Tetapi dengan Love For Sale, Ia berhasil menyeruak dan membuktikan diri bahwa Ia adalah salah satu aktor jempolan. Karekter pendukung lain mampu membantu menghidupkan cerita yang disajikan, dimana geng nobar, karyawan, serta Pandji, sahabat Richard, mampu memberikan gambaran pada kita bagaimana proses perubahan karakter Richard selama 105 menit durasi.
Debut Della Dartyan sebagai Arini pun begitu gemilang. Perannya sebagai “cinta sementara” Richard membuat pria manapun yang membeli tiket untuk duduk di dalam teater akan merasa melting dan jatuh hati. Arini merupakan representasi wanita yang diinginkan pria kebanyakan, pandai memasak, berbaur dengan lingkungan, memanjakan pasangan, dan SUKA SEPAK BOLA. Sosok wanita yang too good to be true, bahkan bagi karakter Richard di film ini.

Akting keduanya patut diberikan jempol, dimana keduanya mampu menghadirkan rasa hangat sebagai pasangan dan dapat dirasakan oleh penonton, serta keberanian mereka melakukan adegan ranjang yang menuntut tingkat profesionalits tinggi, terlebih adegan tersebut merupakan adegan tabu di dunia perfilman Indonesia, yang terkenal dengan komentar netijen yang sabdanya seakan lebih benar dari 1+1=2. Sinematografi serta tone yang dihadirkan pun turut membantu penonton untuk menyelami kehidupan Richard yang di satu sisi terlihat “sudah biasa” sendiri, namun pada akhirnya kita tahu bahwa ia hanya terbiasa untuk mengakali sepi dan membunuh rasa hampa. Tetapi ketika ia punya kesempatan untuk membuka hati untuk mengenal lebih jauh sosok Arini, Ia pada akhirnya rela untuk menceburkan diri kembali ke dalam lautan dengan berbagai risikonya serta kembali menikmati kegilaan yang dihadirkan. Seperti kata Joker pada film The Dark Knight, “Madness is like gravity, all you need is a little push”, dan Arini berhasil mendorong Richard untuk beranjak dari tempatnya mematung selama ini.

Saya tentunya tidak akan menjabarkan secara rinci terkait jalannya cerita serta bagaimana kisah Richard dan Arini berakhir, namun yang pasti, bagaimana film ini bermuara, merupakan salah satu ending film yang manis bagi saya. Memang bukan ending yang disukai banyak orang, tapi bagi saya ending film ini sempurna. Tidak mainstream, tidak picisan. Hanya menunjukkan bagaimana cinta, mampu menghidupkan kembali seseorang dan mampu membuat mereka yang telah menyerah, kembali memiliki alasan dan tujuan dalam hidupnya. Terlepas dari bersama atau tidaknya mereka di ujung senja. A sweet addition untuk perfilman Indonesia.
Well done Gading and Della.
A bold 8 out of 10
Memorable Line: “Lun, mba lu kemana ya? Lupa pulang kali ya?” -Richard.